Pengaduan Menteri ESDM, Sudirman Said, kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI terkait pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh oknum anggota DPR, sejatinya dilihat dari dimensi yang lebih luas dari hanya sebagai “pencatutan nama Presiden dan Wapres” yang merupakan delik aduan. Ibaratnya, jangan melihat lukisan sebagai sesuatu yang hanya terdiri dari kanvas dan cat. |
“Soal itu bukan semata soal kode etik yang ditangani Majelis Kode Etik DPR RI. Penegak Hukum, terutama KPK, dapat menjadikan rekaman sebagai alat bukti harus jemput bola,” kata Augustinus Hutajulu, praktisi hukum kepada www.theglobal-review.com Selasa (17/11/2015) di Jakarta.
Menurut Augustinus, selayaknya segera lakukan Lidik, Panggil Menteri SDM dan pihak Freeport. “Tindak pidana dalam pasal 12 UU Tipikor bukan delik aduan. Kalaupun belum selesai “pemerasan dalam jabatan,” maka itu adalah percobaan pemerasan yang menurut pasal 15 UU Tipikor dipidana sama dengan tindak pidananya,” terang Augustinus. Apalagi kasus ini menyangkut kepentingan bangsa. Sedangkan soal apakah itu pencemaran nama baik Presiden/Wakil Presiden, itu soal lain lagi, atau hanya sebagai modus pemerasan saja. Bunyi Pasal 12 UU Tipikor adalah sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; Sedangkan Pasal 15 UU Tipikor, menyatakan: Setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Seperti diketahui, Menteri Energi Sudirman Said melapor ke Majelis Kehormatan Dewan terkait dengan adanya anggota parlemen yang memanfaatkan nama Presiden Joko Widodo untuk memuluskan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. “Anggota DPR tersebut telah beberapa kali memanggil dan melakukan pertemuan dengan pimpinan Freeport. Pertemuan ketiga dilakukan di kawasan SCBD,” ujar Sudirman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/11/2015). Dalam pertemuan ketiga itulah, kata Sudirman, oknum tersebut meminta 20 persen saham PT Freeport Indonesia yang, menurut dia, akan diteruskan ke Presiden Joko Widodo (11 persen) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (9 persen). Sementara itu, bagi dirinya sendiri, si pejabat juga meminta 49 persen saham proyek PLTA Urumuka dan meminta Freeport menjadi investor sekaligus off taker tenaga listrik proyek tersebut. Juru bicara PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, membantah adanya lobi tak resmi terkait dengan perpanjangan kontrak di Indonesia. Termasuk soal adanya oknum anggota DPR yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden dalam lobi itu. “Dalam perusahaan kami, praktek-praktek seperti itu tidak ada,” katanya Riza. Sebagai perusahaan yang berinvestasi di Indonesia, Riza menyatakan, Freeport selalu mematuhi peraturan di negeri ini. (TGR/SB) |
Sumber : The Global Review