Oleh : Augustinus Hutajulu

*Caelum non animum mutant qui trans mare currunt* (Horace).

(They change the sky, not their soul, who run across the sea)

Kata, kalimat atau suatu rangkaian kalimat atau bahasa pada pertamanya adalah alat manusia untuk berangan-angan, berfikir ataupun berkehendak yang kemudian pada tahap selanjutnya digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan maksud menyampaikan apa yang diangan-angankan, dipikirkan atau yang dikehendakinya itu. Sebab itu, pencarian makna suatu kata, kalimat ataupun rangkaian kalimat haruslah mengacu pada apa yang dimaksud atau dikehendaki sumber aslinya.

Hukum dalam fase postmodernisme telah dibuat dalam bentuk/ format tertentu, dirumuskan secara tertulis dalam bahasa hukum yang singkat, jelas, padat dan memberi gambaran (insight) dari apa yang dimaksud oleh si perumus. Rumusan (formulering) bahasa hukum itu sedemikian padat dan lengkap meskipun singkat, guna mencegah adanya penafsiran yang menyimpang dari maksud pembuatnya serta untuk mencegah penerobosan atau penyelundupan hukum (fraus legis/ smuggling of law). Seneca (juga Cicero) sampai mengatakan bahwa tidak ada makna lain yang bisa lolos dari rumusan bahasa hukum suatu konstitusi atau undang-undang. Hukum tidak dapat beranjak dari maksudnya semula [a verbis legis non est recedendum (there must be no departure from the words of the law)]. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa rangkaian kalimat atau rangkaian pasal demi pasal dalam suatu undang-undang atau aturan tertulis lainnya hanyalah merupakan simbol yang berisi makna atau maksud yang dikehendaki si pembuat aturan itu, maka aturan-aturan hukum harus dicari maknanya sesuai dengan makna yang dimaksud oleh pembentuknya, yang harus tidak boleh menyimpang dari atau bertentangan dengan makna yang dikehendaki oleh peraturan yang menjadi dasar hukumnya.

Penafsiran untuk mencari makna suatu aturan sebagaimana dimaksud oleh pembentuknya disebut penafsiran hermeneutika. Secara etimologi, hermeneutika berasal dari kata “Hermes”, nama salah seorang Dewa Yunani yang berarti ‘Pembawa Berita’. Menurut penganut paham hermeneutika, rumusan suatu aturan hukum tertulis hanyalah simbol yang mengandung makna. Rangkaian kalimat dalam suatu peraturan hanyalah sekedar baju atau cangkang dari makna yang terkandung di dalamnya. Menurut mereka, yang penting dan yang terutama adalah mencari makna dari rumusan aturan-aturan itu dengan mengaitkannya dengan makna yang dimaksud oleh pembentuknya, dengan mengacu pada maksud pembentuk peraturan yang lebih tinggi yang mendasari dan memberi kewenangan untuk membuat peraturan itu. Dalam setiap peraturan perundangan selalu disebutkan dasar hukum dari dan pertimbangan mengapa sesuatu aturan itu dibuat. Dasar hukum yang melandasi sesuatu peraturan perundangan itu berjenjang ke atas hingga ke norma dasar (grund norm) atau konstitusi. Maksud pembentuk suatu aturan dan oleh karenanya makna/ isi dari sesuatu peraturan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan dengan maksud pembentuk (dan oleh karenanya juga dengan makna/ isi dari) peraturan yang lebih tinggi yang mendasarinya, sehingga jelas terlihat kesinambungan dan benang merah manfaat apa yang ingin dicapai oleh negara/ pembentuk hukum dengan membuat peraturan itu, mulai dari peraturan yang tertinggi hingga yang paling rendah.

 

     Gustav Radbruch sangat tidak setuju dengan penafsiran ini. Radbruch dalam bukunya “Outline of Legal Philosophy” mengatakan, suatu ketentuan undang-undang harus dicari maknanya melampaui apa yang dimaksud oleh pembentuknya dahulu (trans-empirical interpretation). Suatu peraturan harus dimaknai sesuai dengan konteks pemahaman ketika hukum itu akan diterapkan, tidak harus terikat dengan maksud pembentuknya dahulu. Memaknai suatu peraturan perundangan dengan mengacu kepada maksud pembentuk undang-undang dahulu akan menghasilkan kumpulan pandangan dari para pembentuknya, yang mungkin memiliki gap-gap dan belum tentu sesuai dengan konteks atau situasi pada saat hukum itu akan diterapkan, sementara hukum memerlukan kepastian. Menurut Radbruch, sama halnya dengan suatu teka-teki dapat menimbulkan suatu jawaban yang benar yang sama sekali berbeda dengan jawaban yang dimaksud oleh si pembuat teka-teki itu, demikian juga halnya undang-undang, itu dapat mempunyai arti yang dapat diterapkan pada suatu saat tertentu meskipun terlepas dan sama sekali berbeda dengan yang dimaksud oleh pembentuknya dahulu.

Penulis tidak sependapat dengan Gustav Radbruch, karena dengan melepaskan makna suatu ketentuan undang-undang dari maksud dan tujuan pembentuknya dahulu, maka undang-undang itu akan kehilangan roh atau cita-cita (rechtsidee) dari para pembentuknya dahulu untuk mana mereka membuat ketentuan undang-undang. Akibatnya, bagaikan wayang, ketentuan perundang-undangan yang tanpa roh itu akan dimaknai sesuai dengan keinginan otoritas pelaksananya sehingga akan bersifat temporari dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam suatu kurun waktu dan bahkan dapat menimbulkan chaos, karena para penguasa yang silih berganti akan membuat kebijakan berdasarkan penafsirannya sendiri pada masa mereka berkuasa, tanpa mengaitkannya dengan makna semula dari ketentuan perundang-undangan yang telah memberinya kekuasaan untuk membuat aturan guna melaksanakan undang-undang itu. Keadaan demikian akan semakin menjauhkan hukum dari tugasnya semula, ialah untuk mengarahkan seluruh komponen bangsa mencapai maksud dan tujuan pembentuk hukum itu (law as a tool of social enginering), yaitu tujuan dari negara. Akibat lebih jauh ialah hukum tidak lagi mengatur otoritas pelaksana hukum, melainkan pelaksana hukumlah yang akan mengatur dan melaksanakan hukum sesuai dengan kepentingan dan/ atau kenyataan yang dihadapinya. Contoh teranyar dari diabaikannya tafsir hermeneutika dalam memaknai bunyi pasal suatu undang-undang adalah heboh penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM antara KPK dengan Polri, yang disebabkan karena adanya salah satu pihak yang tidak mau tahu atau mengabaikan maksud dan tujuan pembentukan lembaga KPK dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih kemudian (posteriori) dan lebih khusus (lex specialis) dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Negara sebagai suatu lembaga hukum mempunyai cita-cita yang luhur bagi substratum nya, ialah rakyatnya. Untuk mencapai tujuannya yang luhur tersebut, negara membuat hukum untuk mengarahkan dan menggerakkan masyarakat mencapai tujuannya dan lalu negara sekaligus menundukkan dirinya kepada hukum yang dibuatnya itu. Sebab itu, setiap penyelenggara Negara haruslah mencari, memahami dan menerapkan hukum sesuai dengan maksud dan tujuan negara cq. pembentuk undang-undang itu saat membuat undang-undang tersebut. Tanpa memahami dan mengaitkan penerapan hukum dengan maksud pembentuknya dahulu, ialah tujuan negara yang diejawantahkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan secara hierarkis. maka tidak akan ada makna yang menjadi pegangan (patron) baginya dalam membuat aturan maupun kebijakan dalam pelaksanaan undang-undang itu.

Sebagai ilustrasi, menurut Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) yang merupakan norma dasar yang fundamentil Negara Republik Indonesia (staat fundamental norm), tujuan pembentukan Negara Indonesia adalah untuk “.. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hingga sekarang ini, secara formal, UUD’45 yang di “roh” i oleh isi Pembukaan UUD’45, selalu dicantumkan sebagai dasar bagi setiap perundang-undangan di Republik Indonesia, mulai dari tingkatan undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan pelaksana lainnya, yang menunjukkan bahwa peraturan perundangan tersebut serta kewenangan membuatnya adalah berdasarkan UUD’45. Apabila para pembentuk undang-undang atau pemerintah serta jajaran dibawahnya memahami makna pasal-pasal dalam UUD’45 yang diejawantahi oleh isi Pembukaan UUD’45 sebagai norma dasar negara yang fundamentil, maka pastilah setiap perundang-undangan mulai dari tingkatan UUD’45 (dan amandemennya), undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden sampai peraturan terbawah serta setiap kebijakan penguasa yang berdasarkan peraturan-peraturan itu akan mencerminkan dan merupakan pelaksanaan dari dan oleh karenanya tidak mungkin menyimpang dari tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana disebutkan di atas.

UUD’45 itu sendiri dibuat untuk melaksanakan kehendak negara Indonesia dan karenanya baik ketentuan-ketentuan dalam amandemen UUD’45 maupun peraturan pelaksanaannya haruslah juga sesuai dan merupakan pelaksanaan dari tujuan atau cita-cita negara. Dengan kata lain, tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD’45 harus mengejawantah dalam pasal-pasal UUD’45 (dan Amandemennya) dan yang menjadi dasar dari seluruh perundang-undangan di Indonesia, itu harus terjelma dalam serta akan dicapai dengan ketentuan perundang-undangan mulai dari tingkatan undang-undang sampai dengan peraturan terbawah.

Mungkin dapat timbul pertanyaan, apakah maksud dan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD’45 yang diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945 masih dapat diterapkan pada masa sekarang setelah 67 tahun lebih? Jawabnya adalah : dapat dan harus, karena maksud pembentukan serta tujuan suatu negara tidak akan pernah berubah selama negara itu masih ada. Suatu maksud dan tujuan (ide) karena bersifat abstrak, itu bersifat langgeng dan selalu dapat diejawantahkan dalam materi maupun waktu yang berbeda (materiil qualification of idea). Wajah Bung Karno selalu dapat dituangkan dalam materi yang berbeda di waktu yang berbeda, misalnya dalam lukisan kertas, lukisan bulu, patung kayu, arca batu dalam waktu yang berbeda. Meskipun dalam materi yang berbeda dan dibuat dalam waktu yang berbeda, tetapi pada setiap materi itu selalu terpatri/ tergambarkan/ terejawantahkan wajah Bung Karno. Demikian juga halnya setiap peraturan perundang-undangan mulai dari tingkatan tertinggi UUD (dan Amandemennya) hingga peraturan yang lebih rendah dapat dan selalu harus merupakan pengejawantahan dari ide atau maksud dan tujuan dari para pembentuk UUD’45 dahulu sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD’45. Misalnya, menurut ketentuan Pasal 33 UUD’45 “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.”. Dari ketentuan Pasal 33 UUD’45 tersebut, seharusnya setiap undang-undang dan oleh karenanya peraturan pemerintah maupun peraturan pelaksanaan lainnya haruslah sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 tersebut yang merupakan alat (the tool) dari Negara Republik Indonesia dalam mencapai tujuannya sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD’45. Akan tetapi dalam kenyataannya, Pemerintah era Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini (yang mungkin telah meninggalkan penafsiran hermeneutika) dalam membuat peraturan perundangan sebagai pelaksanaan UUD’45 (yang mendasari kewenangannya) serta dalam kebijakan-kebijakan yang dituangkan dalam peraturan- peraturan, kelihatannya telah jauh menyimpang dari tujuan Negara Republik Indonesia termaksud.

 

     Sri Palupi, Ketua Institute for Ecosoc Rights telah mengomentari para pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menepis tudingan bahwa Indonesia dijalankan dengan “otopilot”, bahkan Hatta Rajasa sampai-sampai memuji SBY sebagai pilot handal sambil merujuk pada pertumbuhan domestik bruto 65 %, peringkat utang meningkat dan status layak investasi yang diberikan oleh lembaga pemeringkat internasional. Sri Palupi dengan berani menyatakan :

Tak ada yang salah dengan pujian bahwa SBY pilot handal. Hanya saja, para pemuji SBY tutup mata terhadap kenyataan bahwa sebagai pilot, SBY salah masuk pesawat. Bukan pesawat RI yang ia terbangkan, melainkan pesawat asing yang memuat investor asing, komprador, koruptor dan kalangan yang diuntungkan kebijakan promodal asing. Rakyat tertinggal di pesawat tanpa pilot, terombang-ambing di tengah badai korupsi dan investasi.

Pemerintahan SBY dikenal paling ramah melayani kepentingan asing. Tak heran, banyak pujian dari asing. Bahkan, demi mencapai target investasi, SBY rela mengorbankan kepentingan hajat hidup rakyat. Target investasi yang dibuat pemerintahan SBY Rp. 3.100 triliun sampai 2014. Investasinya belum mencapai Rp. 1.000 triliun, 75 persen sumber daya alam kita sudah dikuasai asing. Saham-saham penting milik negara sudah beralih kepemilikan ke korporasi asing.

Kepenguasaan asing di pertambangan emas, perak, dan tembaga mencapai 90 persen. Sektor energi 90 persen dikuasai asing. Perbankan nasional juga jatuh ke tangan asing. Sektor telekomunikasi yang strategis, 90 persen dikuasai asing.

Rantai pangan Indonesia tak terlepas dari penguasaan asing. Aliansi untuk Desa Sejahtera mencatat, korporasi asing telah mengontrol perdagangan pangan Indonesia. Syn-genta, Monsanto, Dupont, dan Bayer menguasai bibit dan agro- kimia. Cargill, Bunge, Louis Dreyfus, dan ADM merajai pangan serat, perdagangan, dan pengolahan bahan mentah. Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co mencengkeram pengolahan pangan dan minuman. Carrefour, Wal Mart, Metro, dan Tesco jadi penguasa pasar eceran pangan.

Produk petani dan industri dalam negeri tergusur produk impor. Pasar tradisional terdesak mal dan pusat belanja modern. Pedagang kecil kehilangan sumber hidup. Bahan baku industri yang berlimpah lebih banyak dinikmati asing. Negeri ini hanya jadi pasar barang industri bangsa lain sekaligus pemasok bahan baku industri negara lain. Penguasaan aset negara oleh asing dibuat mulus dengan banyaknya UU pro-kepentingan asing.

Amat banyak UU dibuat dengan mengabaikan amanat konstitusi. Setidaknya 76 UU penting terkait hajat hidup rakyat dibuat dengan intervensi asing. Sebagai bangsa, praktis kita sudah kehilangan kedaulatan. Tak hanya atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam berpikir dan menentukan masa depan sendiri pun, kita sudah defisit kedaulatan. Pertumbuhan ekonomi tinggi, peringkat utang meningkat, dan status layak investasi kebanggaan pemerintahan SBY tak sebanding dengan risiko dan harga yang harus dibayar bangsa ini.

Saat pemerintah membanggakan pertumbuhan ekonomi tinggi dan berbagai pujian pihak asing, saat itu pemerintah meningkatkan target pengiriman TKI ke luar negeri dan mengampanyekan program perluasan negara tujuan TKI. Lalu, untuk siapa pertumbuhan ekonomi tinggi dan derasnya arus investasi kalau rakyat terus didorong menjadi budak bangsa lain?”

Dari apa yang dikemukakan oleh Sri Palupi -yang tentunya berdasarkan data yang valid- tersebut, jelaslah Pemerintah era SBY meskipun mencantumkan UUD’45 sebagai dasar dalam setiap pembuatan undang-undang dan/ atau peraturan pemerintah serta peraturan pelaksanaannya, terbukti telah mengabaikan tafsir hermeneutika, sehingga produk-produk hukum yang dibuat maupun kebijakan-kebijakannya telah jauh menyimpang dari dan bahkan bertentangan dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD’45. Akibatnya, semakin panjang perjalanan bangsa ini justru semakin jauh dari cita-cita para pembentuk negara (founding fathers) dan tujuan dari Negara Republik Indonesia, karena mereka berusaha mengubah langit, bukan jiwa mereka yang telah lari menyeberangi lautan dari ide pembentukan negara (Caelum non animum mutant qui trans mare currunt, Horace).

Pada tataran pelaksanaan undang-undang yang tidak lagi mengaitkan dengan tujuan negara sebagai patron atau sebagai roh, pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintahpun akan dapat semakin menjauhi tujuan negara bahkan tujuan dari undang-undang yang akan dilaksanakan itu sendiri, karena para pelaksana hukum tidak lagi memahami makna dari apa yang tertulis dalam undang-undang tersebut.

Sebagai contoh, pada tanggal 4 November 2002, 10 Negara ASEAN menandatangani kerangka Perjanjian Perdagangan Bebas dengan China (ACFTA- Asean China Free Trade Area) dengan maksud untuk diimplementasikan secara efektif pada 1 Januari 2010. Indonesia yang diwakili oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani kerangka perjanjian tersebut dengan pemikiran bahwa masih ada tenggang waktu 8 tahun bagi masing-masing pihak melaksanakan efisiensi peningkatan produktifitas sehingga dapat bersaing pada level yang sama untuk memanfaatkan potensi pasar yang tercipta dari perjanjian ini. ACFTA ini merupakan zona perdagangan bebas terbesar di dunia dilihat dari segi jumlah populasi penduduk, dan terbesar ketiga dari segi produk domestik bruto yang dihasilkan. Manfaat dari perjanjian ini adalah akan mengurangi tarif atas produk yang dijual oleh masing-masing negara. Produk negara-negara ASEAN yang dijual di China akan menikmati pengurangan bea masuk dari 9,8 % menjadi 0.1 %, sedangkan produk China yang dijual di negara-negara ASEAN akan menikmati pengurangan bea masuk dari 12,8 % menjadi 0,6 % sejak efektifnya ACFTA tersebut, ialah sejak Januari 2010. Dari jumlah penduduk negara-negara ASEAN sebesar 540 juta jiwa 40 % nya adalah penduduk Indonesia. Sesuai kesepakatan ACFTA tersebut, jikapun suatu negara pada saat akan berlakunya ACFTA itu pada Januari 2010 belum siap untuk melaksanakan ACFTA, masih dimungkinkan mengajukan penundaan dengan mengajukan penundaan secara resmi melalui Badan Sekertariat ASEAN.s

Ternyata, setelah SBY menggantikan Megawati Soekarnoputri pada tahun 2004, perkembangan peningkatan produktifitas dalam negeri melalui peningkatan efisiensi tidak berjalan dengan baik, termasuk karena korupsi semakin merajalela tidak lagi hanya ditingkat badan-badan eksekutif, tetapi juga sudah di badan legislatif. Para pengamat mensinyalir 30 % dari RAPBN telah menjadi santapan para koruptor di Badan Anggaran DPR, belum lagi yang dikorup para pejabat eksekutif dari tingkat pusat hingga tingkat daerah sebagai pengguna APBN. Ironisnya anggaran untuk sektor Pendidikan, di samping realisasinya tidak sebagaimana diamanatkan dalam APBN, dananya juga banyak yang dikorup di tahap pelaksanaan oleh para makelar proyek yang berasal dari partai-partai politik. Berhubung peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM selama kurun waktu 2004 – 2009 tidak mengalami kemajuan yang signifikan sebagaimana diharapkan oleh Megawati Soekarnoputri saat menandatangani ACFTA tersebut, produktifitas dalam negeri tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Sementara itu. negara-negara ASEAN lainnya telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam menyongsong berlakunya ACFTA pada Januari 2010. Menurut peringkat Human Development Report yang dikeluarkan oleh UNDP pada tahun 2010, saat ACFTA diimplementasikan, SDM Indonesia berada pada urutan 108, jauh di bawah Singapura yang berada di urutan 27, Brunei, 37, Malaysia, 57, Thailand, 92 dan China, 89. Tingkat produksi dalam negeri sangat ketinggalan juga karena korupsi yang merajalela telah sangat menghambat penyediaan infrastruktur disamping carut marutnya soal perizinan.

Seandainya pemerintahan SBY mengindahkan tafsir hermeneutika untuk memahami makna peraturan hukum yang memberinya kekuasaan, maka mereka akan dapat memahami tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia yang antara lain adalah juga untuk melindungi dan mensejahterakan segenap bangsa Indonesia seluruhnya, sehingga pemerintahan SBY seharusnya mengajukan penundaan implementasi ACFTA untuk Indonesia ke Badan Sekertariat ASEAN, bukan langsung memberlakukannya dengan melemparkan kesalahan kepada Presiden pendahulunya yang menandatangani ACFTA tersebut. Seharusnya juga pemerintahan SBY dalam masa pemerintahannya sejak 2004 – 2009 memberantas korupsi secara konsekuen tanpa tebang pilih, menekan ekonomi biaya tinggi, membenahi infrastruktur terutama jalan dan pelabuhan, memperbaiki sistim pelayanan publik dan efisiensi sistim perizinan guna menyongsong berlakunya ACFTA. Sejak implementasi ACFTA, Indonesia walaupun mengalami volume perdagangan yang meningkat, namun selalu dalam posisi yang tidak seimbang dan mengalami defisit dengan China. Setidaknya ada 5 sektor yang langsung merugi yaitu baja, elektronika, furniture, textil dan produk textil. Dampak lainnya adalah menurunnya penjualan produk dalam negeri akibat kalah bersaing dengan harga barang impor produk China yang jauh lebih murah. Rezim pemerintahan SBY tidak menyadari bahwa perusahaan-perusahaan swasta di China dapat maju pesat karena didukung sepenuhnya oleh pemerintah untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan di tingkat global. Di Indonesia malah sebaliknya, perusahaan-perusahaan swasta justru diadu dengan BUMN-BUMN maupun BUMD-BUMD. Lalu, mustahillah mengharapkan perusahaan-perusahaan swasta bahkan BUMN/ BUMD Indonesia dapat maju pesat untuk menghadapi persaingan di tingkat global.

Dari hal-hal sebagaimana tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa peraturan atau penerapan hukum maupun kebijakan yang tidak mengacu lagi pada makna yang maksud oleh dan tujuan para pembentuknya sebagai sumber yang mendasarinya adalah suatu kebohongan atau kepalsuan hukum dalam realitas sosial.

Bulaksumur, Yogyakarta, 3 November 2012

  1. Gustav Radbruch,“Outline of Legal Philosophy” hal 103, BP UGM, Jln.Sunarjo,

Yogyakarta, (Tanpa Tahun).

  1. Sri Palupi, “Pilot yang Salah Pesawat”, Harian Kompas, 2 Februari 2012, hal. 6.
  2. Sudjito, Bahan Kuliah Filsafat Hukum tanggal 13 Oktober 2012.
  3. Human Development Report dari United Nations Development Programme (UNDP).

http://hdr.undp.org/en/media/HDR_2010_EN_Complete_reprint.pdf