
Oleh : Augustinus Hutajulu
*Orang yang melarikan diri dari cita akhirnya juga tidak mendapatkan pengertian* (Goethe)[1]
[1] Gustav Radbruch. “Outline of Legal Philosophy”. hal. 39
I. Pendahuluan
Hukum, atau bagian penting daripadanya, adalah kehendak daripada negara dan negara atau bagian penting daripadanya adalah suatu lembaga daripada hukum, maka soal-soal tujuan hukum dan tujuan negara adalah hal-hal yang tak dapat dipisahkan[1]. Sementara itu, dasar dan tujuan dari sesuatu (causa) haruslah bersesuaian, dalam arti, suatu tujuan haruslah bersumber pada dasarnya dan nilai-nilai dalam dasarnya itu harus terkandung dalam tujuan itu. Karena hukum dibuat oleh negara untuk mencapai tujuannya, maka hukum dalam suatu negara haruslah sesuai dengan dan merupakan alat dari negara untuk mencapai tujuannya. Sebab itu, hukum harus berdasar dan berkesesuaian serta merupakan pengejawantahan dari dan yang tidak boleh bertentangan (must be based and accord to and as an implementation of) dengan tujuan negara yang membentuknya.
II. Dasar, Filsafat dan Pandangan Hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) didirikan di atas/ berdasar pada 5 (lima) sila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelima sila atau prinsip yang menjadi dasar NKRI tersebut oleh Bung Karno dinamakan Pancasila berdasarkan inspirasi dari petunjuk yang diberikan oleh seorang temannya yang ahli bahasa.[2]
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam Rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai “founding fathers” NKRI yang bermaksud mencari dasar atau landasan Negara Indonesia Merdeka yang akan didirikan itu; Bung Karno mengatakan “Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan (PT) Ketua kehendaki, PT Ketua minta dasar, minta filosofische grondslag (landasan kefilsafatan), atau, kalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, PT Ketua yang mulia meminta suatu Weltanschauung (pandangan dunia), yang diatasnya kita mendirikan negara Indonesia itu?” [3]. Selanjutnya, Bung Karno memaparkan apa yang kemudian kita kenal dengan Pancasila sebagaimana kemudian dinyatakan sebagai dasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dan yang lalu dicantumkan dalam Pembukaan UUD’45 yang diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai bagian tak terpisahkan dari pokok-pokok kaedah negara yang fundamentil (staat fundamental norms) NKRI.
Pada waktu berbicara di sidang BPUPKI, Ir. Soekarno tidak membedakan antara “filsafat” dan “weltanschauung” atau mungkin juga Ir. Soekarno menganggap Pancasila itu adalah filsafat sekaligus sebagai weltanschauung dari bangsa Indonesia. Meskipun Notonagoro kemudian berhasil secara ilmiah-yuridis (juridische wettenschappelijk) membuktikan dan melegitimasi bahwa Pancasila adalah benar merupakan dasar filsafat negara (causa efficien)[4], akan tetapi N. Driyarkara sebagaimana dikutip oleh Soediman Kartohadiprodjo[5], kemudian secara ilmiah-yuridis berpendapat bahwa Pancasila adalah (filsafat yang telah menjadi) Weltanschauung (pandangan hidup) Bangsa Indonesia. Menurut N. Driyarkara “Dengan berfilsafat orang berhasrat memerlukan memandang realita sedalam-dalamnya. Sudut praktis, sudut hidup dikesampingkan. Di sini manusia tidak mengutamakan apa yang praktis, apa yang harus dilakukan; di sini manusia mementingkan, di sini manusia mengutamakan pandangan, di sini manusia terutama hanya hendak mengetahui kebenaran. Akan tetapi, yang berpikir itu manusia. Dia berfikir tentang realitanya sendiri. Jadi dia akan terdorong untuk mengambil sikap untuk menetapkan pendiriannya. Dia akan terdorong untuk berkata: denikianlah realita-ku dalam semesta realita. Itu harus ku-terima! Jadi: aku terima juga dan akan ku-jalankan. Dengan demikian pengertiannya yang abstrak (ialah filsafat) beralih menjadi pandangan atau lebih baik: Pendirian hidup, itulah yang dalam istilah Jerman ‘Weltanschauung’.”
Selanjutnya, menurut N. Driyarkara, weltanschauung bukan filsafat dan tidak selalu didahului oleh filsafat. Menurut beliau “Dalam kalangan suku-suku primitif terdapat juga Weltanschauung, akan tetapi, tanpa rumusan filsafat. Jadi, tidak samalah Weltanschauung dan filsafat. Filsafat ada di dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan Weltanschauung di dalam lingkungan hidup. Banyak pula bagian-bagian dari filsafat (misalnya sejarah filsafat, teori tentang pengertian, alam dan sebagainya) yang tidak langsung berdekatan dengan sikap hidup. Dengan belajar filsafat orang tidak dengan sendirinya mempelajari Weltanschauung. Dan juga tidak pada tempatnya jika dalam filsafat aspek Weltanschauung ditekan-tekan dengan berkelebihan.”
Dengan demikian apa yang diajukan oleh Bung Karno untuk menjadi landasan kefilsafatan atau (juga) sebagai weltanschauung/ pandangan hidup atau way of life, dan kemudian dalam Pembukaan UUD’45 dijadikan sebagai dasar negara, ialah Pancasila, itu dapat dan telah dibuktikan secara ilmiah-yuridis.
- Ilmu Hukum Berparadigma Pancasila
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, tujuan hukum haruslah pararel dengan tujuan negara yang membentuknya guna mencapai tujuan negara itu. Oleh karenanya, nilai-nilai, dasar, asas-asas dan bangunan serta cita-cita hukum (rechtsidee) dari suatu negara haruslah pararel dengan nilai-nilai bangsa, dasar negara dan pandangan hidup serta tujuan dari negara itu sendiri, bukan dengan nilai-nilai atau pandangan hidup negara atau bangsa lain.
Dari berbagai pandangan dan teori, Penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu hukum objeknya adalah hukum yang selalu dan terus menerus berkembang dan mengarah pada cita hukum ialah tercapainya kebenaran dan keadilan yang absolut (causa supra finalis). Kebenaran dan keadilan yang absolut adalah hal sesuatu atau keadaan yang dituju dan yang sangat didambakan oleh manusia sebagai substratum hukum itu sendiri, baik dalam kesendirian, kelompok masyarakat atau sebagai bangsa, terlepas dari apakah kebenaran dan keadilan yang absolut itu sudah pernah terbukti tercapai (empiris) atau belum sepanjang sejarah kemanusiaan di bawah matahari. Sebagai keadaan atau tujuan yang didambakan dan dirindukan oleh setiap manusia, kelompok atau bangsa maka tujuan atau sesuatu yang didambakan itu akan menjadi arah atau tujuan akhir yang diinginkan oleh setiap manusia, kelompok atau bangsa, sekaligus akan menjadi pengarah (guidence) dari dan di dalam aktifitas kehidupannya (teleologis). Disadari atau tidak disadari, diakui atau tidak diakui oleh manusia, pada hakekatnya ada sesuatu yang “Ada” yang merupakan “Dzat Mutlak” atau “Substansi”. Menurut Baruch de Spinoza (1677) substansi itu ialah sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain. Sifat Substansi (Dzat) itu adalah abadi, tidak terbatas, mutlak dan tunggal-utuh. Bagi Spinoza hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi itu, ialah Allah. Hanya Allah yang memiliki sifat tidak terbatas, abadi, tunggal dan utuh. Menurut Spinoza, apabila Allah adalah satu-satunya “Substansi”, maka segala yang ada harus dikatakan berasal dari Allah, yang berarti segala gejala pluralitas dalam alam, baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna bahkan bintang) maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri, melainkan tergantung sepenuhnya pada Allah.
Dalam keyakinan turun temurun manusia dan bangsa Indonesia yang juga telah menjadi pandangan hidupnya, Allah atau disebut juga Tuhan, adalah sumber dari dan tujuan akhir kemana manusia akhirnya berpulang (sangkan paraning dumadi). Justru itu, Ketuhanan telah dan selalu menjadi causa prima dan causa finalis dari aktifitas kemanusiaannya, baik di dalam dirinya sendiri maupun dalam kemasyarakatannya, sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Baruch de Spinoza di atas. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan bangsa Indonesia sejatinya bukan hanya sekedar bersifat jasmani dan rohani semata, akan tetapi bersifat jasmaniah yang Tuhaniah dan rohani yang Tuhaniah. Manusia dan bangsa Indonesia bahkan menyadari dan mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia itupun adalah merupakan “berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” dan dasar negara juga adalah Pancasila yang diawali dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang dirumuskan oleh Bung Karno sebagai sila pertama dalam Pancasila itu mengejawantah dalam sila-sila selanjutnya, sehingga kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemudian kedua sila tersebut mengejawantah dalam sila persatuan Indonesia. Demikian seterusnya, sila-sila yang lebih dahulu akan mengejawantah dalam sila-sila selanjutnya.
Meskipun rumusan maupun nama Pancasila pertama kali dikemukakan oleh Bung Karno, kiranya perlu ditegaskan bahwa Pancasila bukanlah buatan atau ciptaan Bung Karno dan oleh karenanya juga filsafat Pancasila bukanlah filsafat Bung Karno. Pancasila adalah merupakan nilai-nilai yang luhur dan turun temurun dari bangsa Indonesia yang sudah ada sejak adanya bangsa Indonesia.
Bung Karno sendiri dalam pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 September 1951 dengan tegas mengatakan “Pancasila yang tuanku Promotor sebutkan sebagai jasa saya itu sebagai ciptaan saya bukanlah jasa saya oleh kaena saya dalam hal Pancasila itu sekedar menjadi ‘perumus’ daripada perasaan-perasaan yang telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia – sekedar menjadi pengutara – keinginan dan isi-jiwa bangsa Indonesia turun temurun.” Selanjutnya Bung Karno mengatakan “Tidakkah benar bangsa kita pada hakekatnya religius? Tidakkah benar bangsa kita pada hakekatnya berjiwa kebangsaan? Tidakkah benar bangsa kita selalu halus budi pekertinya terhadap sesama manusia? Tidakkah benar kedaulatan rakyat atau demokrasi bukan barang baru bagi kita? Tidakkah benar keadilan sosial – di desa-desa orang sebutkan pemerintahannya Ratu Adil – dianggap oleh bangsa kita sebagai puncaknya kebijaksanaan? Telaahlah siapa yang mau menelaah: bangsa Indonesia bertema sentral kepada tema yang lima itu. Berwatak-watak yang lima itu, berkepribadian-berkepribadian yang lima itu, beroman-muka roman-muka yang lima itu! Maka saya bertanya adakah saya berjasa kalau saya melihat roman-muka Ibuku sendiri, dan lantas mengatakan bagaimana roman-muka Ibuku itu?.”[6] (huruf tebal dari penulis).
Dalam menyikapi perkembangan negara kita termasuk dibidang hukum, terutama dalam windu terakhir ini yang semakin individualistis, liberalistis dan kapitalistis, serta sangat sekuler dan telah menimbulkan ekses di berbagai bidang kehidupan, antara lain konflik sosial yang semakin sering terjadi, korupsi yang merajalela yang bahkan telah dilakukan secara berkelompok dihampir semua lembaga penyelenggara negara, penguasaan asing di sektor perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak, hemat Penulis, apa yang dikemukakan oleh Sunaryati Hartono dalam Orasi Dies Natalis ke-50 Universitas Katolik Parahyangan tahun 2008 menjadi sangat perlu diapresiasi. Dalam kesempatan itu, Sunaryati Hartono menyatakan bahwa setelah 63 tahun kemerdekaan Indonesia melalui Soekarno-Hatta “… keadaan dalam kehidupan nasional saat ini sungguh sangat menyedihkan dan memprihatinkan” [7], “watak (volksgeist) dan solidaritas bangsa Indonesia pada saat ini justru semakin memburuk”. Sunaryati Hartono kemudian mengatakan “… untuk membangun sistim Hukm Nasional, sebenarnya harus dibina suatu budaya Hukum Nasional terlebih dahulu yang akan mempengaruhi kekuatan dan efektifitas berlakunya dan ditetapkannya berbagai kaedah Hukum Nasional” [8]. Kemudian Sunaryati melanjutkan, “… apabila benar-benar kita bertekad mempertahankan identitas kita sebagai bangsa Indonesia … maka tidak ada jalan yang lain daripada tetap setia pada nilai-nilai Pancasila yang … harus kita jiwai dan terapkan sebagai volksgeist Indonesia.” [9] (huruf tebal oleh Penulis). Selanjutnya beliau mengatakan : “… filsafat Pancasila itulah yang paling besar kemungkinannya memungkinkan bangsa Indonesia bertahan dalam pertarungan antar bangsa … Sehingga Pancasila itulah yang sudah tepat menjadi kompas bagi pembangunan bangsa dan negara di abad ke-21 ini.[10]
Oleh karena Pancasila adalah nilai-nilai bangsa, dasar negara dan cita-cita (ideologi) serta merupakan pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Indonesia, maka nilai-nilai hukum, asas-asas, dasar dan bangunan hukum serta cita-cita hukum (rechtsidee) bangsa dan negara Indonesia haruslah berdasarkan dan pararel serta merupakan pengejawantahan dari Pancasila, sehingga hukum dan ilmu hukum di Indonesia berparadigma Pancasila.
Sudjito[11] dalam Kuliah Umum pada tanggal 22 Oktober 2007 di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Denpasar mengatakan :
“ a. Paradigma merupakan ‘seperangkat nilai (tentang Tuhan, alam dan manusia, dan hubungan di antara ketiganya), yang diyakini kebenarannya dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah’;
- Paradigma merupakan sumber, fondasi, asal dan awal dari keberadaan dan perkembangan ilmu;
- Dalam simposium dan Sarasehan tentang Pancasila di UGM pertengahan 2006 maupun Seminar Nasional tentang Nilai-nilai Pancasila di Universitas Pancasila Jakarta akhir 2006, telah diyakini bahwa paradigma ilmu hukum Indonesia adalah Pancasila. Artinya, berolah ilmu hukum dan mengamalkan ilmu hukum harus berporos, berproses dan bermuara pada nilai-nilai Pancasila.”
Memang sudah saatnya dan seharusnyalah bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai paradigma hukum dan ilmu hukum Indonesia agar nilai-nilai Pancasila diejawantahkan dalam setiap aturan hukum dan akan menjiwai serta dijiwai oleh segenap dan semua subjek hukum di Indonesia seluruhnya dalam aktifitas kehidupan pribadi maupun sosialnya.
III. Penutup
Apabila Pancasila menjadi paradigma ilmu hukum Indonesia, maka sebagaimana dikatakan oleh Sudjito[12] :
- Objek ilmu hukum harus menjangkau realitas teologis, metafisis maupun fisis-empiris.
- Metodologi ilmu hukum harus holistik. Dalam konteks Indonesia, manajemen pendidikan ilmu hukum adalah “Patrap Tri Loka” Ki Hadjar Dewantara, yaitu: Ing ngarso sung tulodho-Ing madyo mangun karso-Tut wuri handayani.
- Tujuan ilmu hukum adalah kebenaran dan keadilan dalam perspektif Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu pendidikan ilmu hukum harus mampu meluluskan sarjana hukum yang siap pakai, yaitu: taqwa, cerdas, dan terampil menyelesaikan masalah hukum.”
Dengan menjadikan Pancasila sebagai paradigma hukum dan ilmu hukum di Indonesia, dapatlah dibangun suatu sistim hukum yang pancasilais yang bersifat kekeluargaan dan munculnya generasi yang pancasilais, sehingga dapat diharapkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD’45 ialah : “.. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” akan dapat terwujud di bumi persada Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah dibangun dengan pengorbanan harta, air mata, raga, keluarga dan bahkan nyawa para pahlawan.
*Abadi Pancasila abadilah ibu pertiwiku, tumpah darah yang kuabdi, tempatku berlindung di hari tua, sampai menutup mata… Indonesia tercinta * (Augustinus Hutajulu)
Bulaksumur, Yogyakarta, 15 Desember 2012
Daftar Pustaka
Hartono, Sunaryati, Prof. Dr. Mr. C.F.G. “Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia di Abad 21”. Orasi Dies Natalis Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung. 2008.
Kartohadiprodjo, Soediman, Prof. Mr. “Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia”. Eds. Achmad Suhadi Kartohadiprodjo, dkk. Gatra Pustaka, Jakarta. 2010.
Nasution, Haris Muda. “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi Republik Indonesia”. Firma Haris Medan. 1962.
Notonagoro, Prof. Mr. Drs. “Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia”. Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. 1957.
Radbruch, Gustav. “Outline of Legal Philosophy”. Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Jogjakarta. 1967.
Soekarno, Ir. “Ilmu dan Amal : Geest-Wil-Daad”. Universitas Gadjah Mada : Jogjakarta. 1951.
Sudjito, Prof. Dr. S.H., M.Si. “Hukum Dalam Pelangi Kehidupan”. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 2012.
[1] Ibid., hal. 67
[2] Notonagoro. “Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia”. hal. 7.
[3] Lahirnya Pancasila. Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi Republik Indonesia. hal. 14
[4] Notonagoro, op. cit. hal. 6
[5] Soediman Kartohadiprdjo. “Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia”. hal. 128.
[6] Bung Karno, pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 19 September 1951.
[7] Sunaryati Hartono,. “Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian dari Sistim Hukum Nasional Indonesia di Abad 21”. hal. 2.
[8] Ibid., hal. 10.
[9] Ibid., hal. 10.
[10] Ibid., hal. 16.
[11] Sudjito. “Hukum Dalam Pelangi Kehidupan : Ilmu Hukum Berparadigma Pancasila”. 2012 : Gadjah Mada University Press. Hal. 32.
[12] Ibid. hal. 38