Oleh : Augustinus Hutajulu

Pengertian Humanisme paling tidak dapat ditinjau dari sudut pandang sains, filsafat dan spiritualisme. Menurut tinjauan sains, manusia itu dianggap tak lebih dari fakta empirikal semata dan bersifat mekanistik deterministik, serta mereduksi manusia dari hal-hal non-empiris, seperti nilai dan kesadaran. Julian O de Lametrie salah satu tokoh pandangan ini sampai-sampai menyamakan manusia dengan mesin (l’homme machine).

Filsafat mendasarkan dirinya pada akal sebagai realitas sublim pada diri manusia, sehingga filsafat memandang manusia tidak hanya sebatas realitas materiil belaka yang statis determinis, melainkan juga sebagai realitas idiografis yang memiliki persepsi dan kesadaran yang bersifat dinamis. Akan tetapi, mengenai persepsi serta nilai, sudut pandang filsafat akan membawa kita pada perdebatan panjang tanpa akhir mengenai nilai dan makna kehidupan antara pemikir yang satu dengan pemikir yang lain, antara lain perdebatan antara Nietszche, Kierkegard, Sartre, Jaspers, Marcel dan lainnya.

Jika sains memandang manusia dari segi materialnya, sedangkan filsafat memandang manusia juga dari sudut akal pikirannya, maka spiritualisme memandang manusia dari sudut pandang spirit (rohaninya) juga. Menurut pandangan spiritualisme, manusia selain memiliki dimensi eksoteris (ragawi), juga memiliki sisi esoteris (rohani) yang meliputi nilai-nilai logika, nilai-nilai estetika, nilai-nilai etika dan nilai-nilai religi. Menurut Dr. M. J. Langeveld (1955) “Adapun nilai2 religi sangat istimewa kedudukan mereka. Bagi orang mu’min tak ada baik selain patuh kepada Tuhan dan tidak ada salah selain tidak patuh pada Tuhan. Segala sesuatu adalah alat bagi tudjuanNja atau menjimpang daripada itu”.

Spiritualisme berpandangan bahwa Tuhan adalah modus eksistensi manusia yang kepada-Nya seluruh aspek kemanusiaan harus ditujukan. Spiritualitas manusia itu bersifat universal dan tidak terbatas dan mengantarkan manusia untuk merasakan dan memaknai secara langsung kehidupan.

Jika humanisme dalam pandangan sains yang mendasarkan manusia pada dimensi eksoteris (ragawi) akan membawa pengertian “aku” dan ”kau” dan filsafat yang meliputi juga sudut pandang akal pikirannya akan membawa pengertian “pikiranku” dan “pikiranmu” yang berbeda dan terpisah akan memungkinkan lahirnya individualisme, maka spiritualisme yang mendasarkan pandangannya pada spirit manusia yang tunggal dan universal memungkinkan manusia meninggalkan egoismenya menuju cita-cita humanisme yang universal, yaitu persamaan, persaudaraan, cinta kasih, keadilan dan pengorbanan.

Dengan merujuk pada pendapat Hadari Nawawi, 1986, yang – berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30 dan Surat Faathir ayat 39 – mengatakan “Dari kedua firman tersebut, jelaslah bahwa penempatan manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah amanat Allah untuk menguji siapa di antara manusia yang taat dan siapa pula yang ingkar kepada perintah Allah.”; Sudjito (2003) berpendapat bahwa “Apabila hukum di era globalisasi dibuat manusia sebagai alat perlengkapan untuk mendekatkan diri pada Tuhannya dan sebagai perwujudan upaya manusia mengenal dunia seisinya dalam rangka membagi kasih sayang diantara umat manusia sebagaimana dituntunkan dalam ajaran agama, maka sungguh sangat positif nilai hukum itu dan besar manfaatnya, inilah yang kita sebut hukum sakral. Akan tetapi, tampaknya manusia lebih banyak yang lupa daripada yang ingat akan maksud penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi ini. Dilandasi oleh sifatnya yang tamak, manusia justru mengumbar nafsu keserakahannya. Dia senantiasa berbuat hal-hal yang melampaui batas. Dia tidak pernah puas dengan apa yang telah diperolehnya. Ada kehendak untuk selalu ekspansi, menumpuk harta kekayaan, senang dipuji, dan bermegah-megahan. Mereka melakukannya dengan rasa bangga. Bilamana mungkin, dunia seisinya akan dicaploknya sendiri, tanpa perduli apakah perbuatannya itu melanggar norma hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT ataukah tidak.

Dalam konteks pemahaman manusia sebagai demikian, benarlah apa yang dikatakan oleh Dr. M. J. Langeveld (1955) bahwa “… ia adalah satu-satunya machluk dalam tjiptaan ini jang masuk kehidupan jang serba tidak sesuai dengan keadaan-hidupnja; makanja iapun satu-satunja machluk dalam tjiptaan ini jang membutuhkan didikan dan jang memberi didikan.”

Hukum disamping berfungsi untuk mengatur dan mengarahkan manusia, juga berfungsi untuk mendidik manusia untuk mematuhi norma-norma dan nilai dalam hidup bermasyarakat yang di Indonesia telah disepakati sebagai masyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menempatkan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam dan lingkungannya dalam keselarasan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) disebutkan :

  • Pembangunan Nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pencerminan kehendak ini antara lain dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang menegaskan bahwa “Sasaran umum Pembangunan Jangka Panjang Kedua adalah terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang berdasarkan Pancasila, dalam suasana kehidupan bangsa Indonesia yang serba berkeseimbangan dan selaras dalam hubungan antara sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam dan lingkungannya, manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa”;
  • Pasar Modal bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional yang mempunyai peran strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha, termasuk usaha menengah kecil untuk membangun usahanya, sedangkan di sisi lain, Pasar Modal merupakan wahana investasi bagi masyarakat, termasuk pemodal kecil dan menengah;
  • Undang-Undang Pasar Modal dimaksud untuk mengatur perkembangan Pasar Modal dengan juga mengatur hal-hal yang sangat penting dalam kegiatan Pasar Modal, yaitu kewajiban pihak-pihak dalam suatu penawaran umum untuk memenuhi prinsip keterbukaan, serta terutama ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan kepada masyarakat umum.

Dari isi penjelasan umum UUPM tersebut di atas jelaslah bahwa hukum di Indonesia termasuk UUPM tersebut adalah terutama berdasarkan landasan idiil ialah humanisme dalam sudut pandang spiritualisme, dalam arti segala sesuatu itu diyakini berkaitan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat dalam Pancasila, dengan tidak sama sekali mengabaikan pandangan humanisme dari segi sains dan segi filsafat, sehingga tetap menempatkan manusia itu sebagai makhluk pribadi (dibedakan satu dengan yang lain) dan sosial (adanya dalam hidup bermasyarakat) yang berdasarkan persamaan, persaudaraan, cinta kasih, keadilan dan pengorbanan. Dalam konteks idiil ini, maka sifat egoisme manusia itu harus dikalahkan oleh rasa persamaan, persaudaraan, cinta kasih, keadilan dan pengorbanan terhadap sesama, sehingga manusia yang satu tidak memandang manusia yang lain sebagai objek keserakahannya.

Jika bertitik tolak pada tujuan UUPM sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum di atas, maka kehadiran UUPM adalah dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pelaku Pasar Modal untuk berinvestasi dengan aman di bursa Pasar Modal Indonesia, dengan kata lain undang-undang tersebut dimaksud juga untuk mencegah keserakahan diantara pelaku Pasar Modal yang dengan melawan hukum merugikan pelaku Pasar Modal lainnya.

Di dalam UUPM dikenal tindak pidana berupa Kejahatan [Pasal 103 ayat (1), Pasal 104, Pasal 106 dan Pasal 107] dan Pelanggaran [Pasal 103 ayat (2), Pasal 105 dan Pasal 109]. Dalam Pasal 104 disebutkan bahwa pihak yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 90, 91, 92, 93, Pasal 96 dan Pasal 97 ayat (1) serta Pasal 98 diancam dengan Pidana Penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 15.000.000.000,-. Pasal 91 sampai dengan Pasal 93 mengatur perbuatan orang yang melakukan manipulasi pasar (market manipulation), penipuan (fraud) dan perdagangan orang dalam (insider trading) dengan berbagai unsur yang menunjuk pada suatu rumusan perbuatan yang diharapkan dapat menjerat siapa pun yang melanggar ketentuan tersebut. Namun, hingga sekarang ini meskipun diduga telah ada pelanggaran atas Pasal penipuan tersebut yang telah sangat merugikan banyak pihak, ketentuan dalam Pasar Modal tersebut belum pernah terbukti dapat ditegakkan hingga ke taraf pengadilan, entah karena rumusan perbuatannya yang tidak jelas sehingga sulit dibuktikan atau mungkin juga para pelaku telah menyiasati larangan dalam ketentuan itu sehingga tidak terjangkau oleh pasal tersebut atau mungkin juga telah ada “permainan” antara pelaku dengan penegak hukum/ penyidik. Keadaan itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi korban. Sebagai ilustrasi, kasus Mentari Securindo yang terjadi pada tahun 2007 berujung dengan penghentian penyidikan sehingga pelaku tidak terkena sanksi atas perbuatannya yang telah merugikan pihak lain. Demikian juga kasus Antaboga tahun 2008 yang melibatkan Bank Century hingga sekarang tidak jelas ujungnya dan tidak sampai ke pengadilan pidana.

Dari keadaan tersebut di atas, jelaslah bahwa ancaman pidana dalam hukum yang formal/ positivistik yang disebut undang-undang (termasuk UUPM) itu tidak akan pernah dapat menimbulkan rem batin atau kontra motif (psychologische zwang) bagi manusia-manusia serakah, yang cenderung mempunyai keinginan mempelajari rumusan undang-undang bukan untuk mematuhinya melainkan untuk mencari kelemahannya guna mensiasati agar tidak terkena sanksi hukum/ undang-undang itu.

Justru itulah, hukum yang bersumber dari hukum Tuhan dan nilai-nilai ideal yang berasal dari ajaran agama harus tetap ditanamkan/ di-didikkan kepada setiap insan manusia, sehingga menyadari dan takut akan adanya hukum Tuhan dan oleh karenanya tidak berani berfikir untuk berbuat merugikan orang lain dengan menyiasati aturan hukum yang sudah ada (bandingkan: Sudjito, ibid.). Di dalam ajaran agama apapun selalu ditekankan bahwa “Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Dalam QS. 35 : 38 juga disebutkan “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui yang ghaib di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”.

Dalam Injil Matius 5 : 17 disebutkan “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”. Selanjutnya dalam Matius 22 : 37 (Ulangan 6.5) dan Matius 22 : 39 – 40 (Imamat 19 : 18) disebutkan bahwa atas pertanyaan “Hukum manakah yang terutama dari hukum Taurat?”, Yesus menjawab : “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, Itulah hukum yang terutama dan yang pertama, Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah : Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”.

Apabila hukum Tuhan dan nilai-nilai agama itu mewarnai dan lebih ditanamkan/ di-didikkan pada manusia melalui pasal-pasal undang-undang, maka hukum yang formal dengan segala kekurangannya itu akan dipatuhi oleh setiap orang sebagai aturan main (rule of the game) dalam aktifitas kemasyarakatannya, tanpa sedikitpun niat untuk mensiasati apalagi melanggarnya meskipun mampu menghilangkan bukti apapun, dan manusia akan berfikir, bersikap dan berbuat secara manusiawi terhadap sesamanya manusia seperti kepada dirinya sendiri. Terhadap sesamanya, manusia akan bersikap “I am he as you are he as you are me and we are all together” (John Lennon, I Am The Walrus).

Bulaksumur – Yogyakarta, 6 Oktober 2012

  1. Langeveld, M. J., Menudju Kepemikiran Filsafat, Terdjemahan : G. J. Claessen, 1955, PT. Pembangunan Djakarta, hal. 186 dan 211;
  2. Sabara Putera Borneo, HMINEWS.COM;
  3. Sudjito, Penegakkan Hukum : Akar Permasalahan dan Alternatif Solusinya, Mimbar Hukum 34/II/2003, Fakultas Hukum UGM;
  4. Sudjito, Kuliah Filsafat Hukum tanggal 22 September 2012.