Jakarta, O&G Indonesia-– Sikap Ketua DPR RI, Setya Novanto, yang mengaku tidak pernah mengeluarkan dan merasa tidak tahu menahu perihal surat katabelece ke Pertamina makin menguak kuatnya tarikan dan intervensi pemegang kuasa.
“Begitu hebatnya imbas kekuasaan, sehingga suratnya saja, walaupun palsu, tapi membuat Pertamina sampai menggelar rapat dewan direksi untuk membahasnya tanpa berani untuk lebih dulu mengecek benar tidaknya surat tersebut,”kata Augustinus Hutajulu,SH, MKN praktisi hukum kepada og-indonesia.com Jumat Siang (20/11/2015) di Jakarta.
Bila ditilik dari perspektif penegakan hukum, kata Augustinus, selayaknya polisi segera menyelidiki kebenaran soal kepalsuan (valseheid) dari surat tersebut. “Tidaklah mungkin suatu surat itu asli sekaligus palsu. Jika itu asli, maka telah terjadi tindak pidana “memperdagangkan kewenangan” atau “penyalahgunaan kewenangan” setidaknya terjadi ekses kekuasaan (exces de pouvoir),”tegas Augustinus, sembari menambahkan bahwa hal itu diatur dalam UU Tipikor.
Menurut Augustinus, bila surat tersebut palsu, hendaknya dilacak siapa pengguna dan pembuat surat. “Jika surat itu palsu maka baik si pembuat maupun si pengguna surat harus dituntut berdasarkan ketentuan dalam pasal 263 KUHP dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara,”terang Augustinus.
Apabila pemalsuan itu atas surat otentik/surat kenegaraan atau yang berkop institusi negara, ungkap Augustinus, maka harus dituntut sesuai ketentuan dalam pasal 264 KUHP dengan ancaman maksimal 8 tahun penjara. Delik dalam kedua pasal tersebut bukanlah delik aduan sehingga polisi/penyidik harus proaktif mengusutnya,”terang Augustinus.
“Pemalsuan surat otentik dan atau kenegaraan di samping dapat menimbulkan kerugian materil (ic. Pertamina sampai menggelar rapat membahasnya), dapat pula menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat (public fidei) atas suatu surat otentik ataupun surat kenegaraan,”papar Augustinus.
Seperti diketahui, dikalangan masyarakat beredar luas surat atau katabelece yang mengatasnamakan Ketua DPR Setya Novanto ke Direktur Utama Pertamina Dwi Soedjipto terkait kontrak tanki penyimpanan bahan bakar minyak (BBM). Novanto lewat Kepala Tata Usaha Pimpinan DPR Hani Tahapari, menepis dan menyebut surat itu palsu.
Pihak Pertamina membenarkan surat tersebut, bahkan ditindaklanjuti dengan menggelar rapat dewan direksi Pertamina. Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Ahmad Bambang tidak mempermasalahkan adanya surat atas nama Ketua DPR RI Setya Novanto.
Isi surat itu meminta Pertamina membayar biaya penyimpanan bahan bakar minyak milik Pertamina pada tangki timbun PT Orbit Terminal Merak (OTM).”Ya, namanya meminta boleh-boleh saja. Tapi yang tahu pastinya beliaulah (Setya Novanto) melalui surat itu. Yang jelas, namanya kerja sama harus win-win solution,” ujar Ahmad, Rabu (18/11/2015).
Surat tertanggal 17 Oktober 2015 itu ditujukan kepada Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto. Dalam surat tersebut, Pertamina diminta membayar biaya penyimpanan bahan bakar minyak kepada PT OTM.
Cuplikan surat tersebut: “Sesuai dengan pembicaraan terdahulu dan informasi dari Bapak Hanung Budya Direktur Pemasaran dan Niaga sekiranya kami dapat dibantu mengenai addendum perjanjian jasa penerimaan, penyimpanan dan penyerahan bahan bakar minyak di terminal bahan bakar minyak antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Orbit Terminal Merak yang sudah diterima bapak beberapa minggu lalu…” (SB)
Sumber : O & G Indonesia