Dimuat dalam :

 

      DALAM salah satu ceramahnya di Yogyakarta tahun 1973. Prof. Subekti S.H., bekas Ketua Mahkamah Agung RI, mengatakan: “Hakim atau pengadilan adalah aparatur negara yang mengetrapkan hukum, Hukum yang berlaku di suatu negara dikenal melalui putusan – putusan hakim. Karena mengtrapkan hukum yang berlaku itu bukan sillogisme dan sering kali hukum yang tepat dan adil itu harus dicari, maka hakim merupakan pula penemu hukum. Hakim wajib menemukan hukum yang berlaku, sekali pun itu tidak terdapat dalam undang – undang maupun dalam kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Kata – kata dalam undang – undang baru menemukan artinya yanng terdapat dalam putusan hakim, jadi Hakimlah akhirnya yang memberi arti kepada sesuatu istilah atau pasal dalam undang – undang”.

Di sini Prof Subekti menggambarkan betapa pentingnya peranan hakim dalam fungsinya sebagai pengtrap hukum, penemu hukum dan pemberi arti makna pada hukum dalam konkritnya. Memang dengan kebebasannya hakim di beri hak dan bahkan kewajiban untuk menerapkan hukum sesuai dengan keyakinannya yang berorientasi kepada keyakinan hukum masyarakat kepada nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Hakim harus memberi putusan yang adil atas segala perkara yang diajukan padanya. Secara universil dianut paham bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili sesuatu perkara yang diajukan padanya dengan alasan hukum tidak mengaturnya atau hukum tidak lengkap. UU Pokok kekuasaan kehakiman No. 14 / 1970 juga mewajibkannya pada hakim – hakim di negara ini.

Hakim sebagai penemu hukum, sebagai pembentuk hukum inkonkreto itu tidak saja dalam lapangan hukum Perdata tetapi juga dalam lapangan hukum Pidana. Dalam lapangan hukum Pidana pun Hakim lah dengan kebebasannya yang menentukan apakah sesuatu perbuatan itu akan dipidana dan apa pidananya (tentunya dalam batas – batas kewenangannya). Hazewinkel-Suringa bahkan berpendapat : “Sebenarnya bukanlah pembentuk undang – undang lagi yang menetukan perbuatan mana yang dapat dipidana dan mana yang tidak, melainkan hakim kepada siapa paling akhir diserahkan untuk menyelediki apakah sesuatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau tidak”.

 

 

Tafsir

Menurut Roscoe Pound (An Introduction to the Philosophy of Law) dalam mengadili sesuatu perkara ada tiga langkah yang harus dilakukan :

  1. Menemukan hukum, artinya menetapkan manakah yang akan diterapkan antara banyak kaidah hukum, atau apabila tidak ada, mengadakan suatu kaidah atau patokan untuk perkara yang dihadapi berdasarkan bahan –bahan yang sudah ada.
  2. Menafsirkan kaidah yang dipilih itu, yaitu menentukan maknanya pada waktu ia dibuat.
  3. Menerapkannya pada perkara yang bersangkutan.

Konsepsi ini hingga sekarang merupakan patokan yang dipakai oleh hakim – hakim kita dalam mengadili sesuatu perkara. Di sini yang digunakan adalah tafsir historis atau tafsir sejarah (historich interpretatie) di mana hakim berusaha memahami arti dan makna hukum itu sebagaimana maknanya dimaksudkan oleh pembentuknya dahulu. Tetapi masalah yang menyusul tafsir ini ialah bagaimana untuk mengetahui maksud pembentuk hukum itu dahulunya. Pula jika para pembentuk hukum itu dahulunya mempunyai kesatuan pendapat, jadi tidak ada semacam minderheids nota, maka kiranya mungkin akan lebih mudah menyelami maksud mereka. Tetapi hukum itu biasanya dibentuk oleh banyak orang, hingga tafsir historis akan menghasilkan kumpulan pandangan para peserta pembentuk hukum itu. Dan ini tidak boleh untuk hukum yang mengabdi pada pelaksanaan keadilan. Hukum memerlukan tafsir yang dapet menghasilkan satu arti dari pada sesuatu aturan hukum.

Pikiran – pikiran dari para pembentuk hukum mungkin mempunyai gap – gap, lobang – lobang kelemahan serta tidak selalu dapat menghindari kontradiksi – kontradiksi, tetapi penafsir (hakim) harus dapat menarik makna dan keputusan yang jelas dari hukum itu di dalam menghadapi setiap persoalan hukum. Penafsiran (hakim) harus dapatnya memperoleh kejelasan yang obyektif dari maksud sesuatu aturan hukum, hakim harus dapat memikirkan maksud dari aturan itu terlepas dari dan bukan maksud pembentuknya. Jadi hakim bukan memikirkan apa yang dahulu dipikirkan oleh pembentuk hukum itu, melainkan berfikir melintasi apa yang dipikirkan dulu (trans-empirisch). Hukum itu mempunyai tujuan ialah keadilan, dan tujuan hukum itu tidak selalu sama dengan tujuan pembentuknya. Bahkan dapat terjadi tujuan pembentuknya bertentangan dengan keadilan.

Lihatlah misalnya UU No 11 Pnps 1963 tentang pemberantasan Subversi yang dibuat oleh rezim Orde Lama. Banyak sarjana hukum yang sepakat mengatakan bahwa peraturan itu dibuat untuk menindas demokrasi. Tetapi jika isi peraturan itu kita telaah secara obyektif dengan melepaskannya dari maksud pembentuknya, maka kita akan sama mengetahui bahwa tujuan UU itu adalah melindungi negara dan masyarakat dari rongr-ngan musuh baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Jadi tujuannya adalah berbeda dari tujuan pembuatnya. Demikian juga dengan peraturan – peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonia Belanda dulu, semisal Haatzaai artikelen. Kalau dahulu itu dimaksud oleh pembuatnya untuk menekan gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, maka justru sekarang itu kita gunakan untuk menjaga kelestarian kemerdekaan itu sendiri. Jadi hukum itu mempunyai arti dan makna sendiri di dalam ia hendak mencapai tujuannya yang terlepas meskipun sama dengan maksud pembentuknya.

Uraian di atas mungkin akan lebih jelas dengan pertanyaan “apakah sungguh – sungguh mungkin dan dapat diterima akal bahwa dari suatu hasil pikiran, orang bisa mendapatkan suatu makna yang tidak atau sama sekali terlepas dari makna yang dipikirkan oleh pengarangnya?” Gustav Radburch dalam bukunya ‘Outline Of Legal Philosophy’ menjawab pertanyaan itu dengan : Mungkin! Ia memberikan contoh – contoh yang sederhana atas jawaban pertanyaan itu. Misalnya saja teka – teki, itu juga dapat mempunyai jawaban yang kedua yang tidak dimaksudkan di samping jawaban yang telah disiapkan oleh pengarangnya dan jawaban itu juga betul sebagaimana jawaban yang dimaksud oleh si pengarang. Contoh lain yang dikemukakan ialah suatu gerakan dalam permainan catur yang dapat mempunyai arti dalam keseluruhan permainan itu yang sama sekali berlainan dan tidak digunakan sebelumnya oleh si pemain.

Dengan demikian, dalam penerapan hukum, hakim terlebih baik untuk menggunakan tafsir trans-empiris itu tinimbang tafsir historis kesemuanya untuk dapat memberikan putusan yang lebih adil kepada para pencari keadilan, yang terlepas dari kemauan dan selera pembentuk peraturan itu yang dalam konteks lain sering disebut penguasa.

 

BANYAK

Dengan menggunakan tafsir trans-empiris sebenarnya hakim masih dapat berbuat lebih banyak lagi dalam ruang lingkup kebebasannya untuk memberikan keadilan bagi masyarakat. Kalau kita perhatikan misalnya sidang – sidang yang mengadili perkara – perkara mahasiswa, maka nampak kepada kita bahwa hakim masih terikat dengan maksud pembentuk undang – undang yang dituduhkan, sehingga putusan hakim senantiasa berorientasi kepada kepentingan yang menjadi motif pembentuknya dahulu, yang bisa jadi menjadi bersamaan dengan kepentingan dari yang menggantikan maka mempertahankan berlakunya aturan tersebut. Banyak sudah contoh konkrit dimana hakim menafsirkan serta mengartikan makna sesuatu aturan hukum dengan menyimpang – terlepas dari maksud pembentuknya dahulu. Perluasan arti ‘goed’ ex. Pasal 362 KUHP yang semulanya menurut maksud pembentuknya hanya meliputi benda materiil hingga meliputi arus listrik yang immateriil adalah salah satu hasil penggunaan tafsir trans-empiris dalam lapangan hukum pidana, meskipun sementara orang dengan ragu ragu memberikan istilah lain sebagai tafsir extensive (perluasan) yang sebenarnya menunjuk akibat dari penggunaan tafsir trans-empiris itu.

Juga perubahan arti ‘recht’ dalam perumusan ‘onrechtmatigedaad’, _ juga merupakan hasil penggunaan tafsir trans-empiris. Semulanya ‘recht’ dalam pasal 1365 KUHPerd. _ itu oleh pembentuk undang – undang hanya dimaksudkan untuk mengartikan undang – undang, tetapi oleh hakim kemudian diberi arti yang lebih luas lagi sehingga meliputi undang – undang, kesusilaan, dan kepatuhan (Arrest H. R. 31 Jan. 1910).

Hukum adalah perwujudan dari kehendak negara bukan kehendak penguasa. Ini harus benar – benar disadari dan diyakini. Hukum adalah alat dari negara dalam mencapai tujuannya. Tujuan Negara itu tidak selamanya sama dengan tujuan Penguasa. Negara dan tujuannya adalah sesuatu yang relatif tetap sedangkan penguasa itu selalu berganti. Kalau kita selalu mengartikan hukum itu sebagaimana maksud dari penguasa pembentuknya, maka setiap ganti penguasa maka hukum juga harus diganti. Bah….repot ini.

Akhirnya, kembali kepada apa yang dikemukakan oleh Prof Subekti SH di atas, maka tugas hakim sebagai penemu dan pembentuk hukum itu akan lebih sempurna hasilnya jika hakim berani dan mampu menggunakan tafsiran trans-empiris, dengan mana keadilan dan kepastian hukum akan lebih dapat deipenuhi.

Jabatan hakim memang adalah jabatan yang berat tetapi mulia, dan untuk menjadi hakim yang baik diperlukan syarat – syarat yang cukup berat. Di samping harus akhli dan berpandangan luas maka harus pula jujur dan obyektif (tidak mempan dipengaruhi apa dan siapa), sehat akaliah dan mentaliah dan last but not least tidak menjilat pada penguasa. Tetapi memang harus diakui, meskipun persyaratan itu juga disyaratkan oleh UU Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 14 – 1970, itu masih teramat sulit dipenuhi selama perut, demosi dan promosi hakim masih di tangan lembaga eksekutip.

 

Oleh : Augustinus Hutajulu

 

Hakim Sebagai Penemu dan Pembentuk Hukum