Oleh : Augustinus Hutajulu

         Idealiter, kehidupan berbangsa adalah kehidupan masyarakat suatu negara yang memandang orang seorang sebangsanya sebagai sesaudara dan memandang bangsa lain sebagai tetangga yang harus hidup rukun dan damai serta saling tolong menolong untuk terciptanya masyarakat dunia yang tertib berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Namun, diakui ataupun tidak diakui, pada dasarnya manusia mempunyai sifat-sifat yang egois dan kecenderungan untuk menghalalkan segala cara demi kepentingannya pribadi/ kelompoknya, sehingga sering terjadi manusia/ kelompok yang satu mengeksploitir manusia/ kelompok yang lain (explotation de l’homa par l’home). Seringkali bahkan orang seorang/ kelompok menjadi serigala bagi manusia/ kelompok lainnya (homo homini lupus). Negara yang menghimpun dan menjadi tempat berhimpunnya suatu bangsa (rakyat), itu mempunyai kehendak yang luhur bagi rakyatnya untuk hidup tertib teratur dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat. Untuk mencapai kehendak yang luhur tersebut, negara menciptakan hukum bagi rakyatnya, lalu negara itu sendiri menundukkan dirinya kepada hukum yang telah dibuatnya itu (antinomi hukum).

          Semulanya sebelum masyarakat itu mempunyai kesatuan kebangsaan dalam suatu negara, manusia itu hidup dalam masyarakatnya berdasarkan norma dan aturan-aturan yang diyakininya sebagai hukum dari Tuhan (atau yang dituhankan). Masa itu, segala kejadian maupun perilaku didasarkan dan dikaitkan dengan hukum Tuhan. Seseorang takut melakukan perbuatan yang a-sosial lebih didominir oleh rasa takut akan reaksi Tuhan (atau yang dituhankan) dibanding reaksi masyarakat. Tahapan ini disebut tahap Teologis/ Hukum Tuhan.

          Dalam perkembangannya, manusia dalam masyarakat memasuki tahap metafisisme dan mulai mengaitkan realitas dan aktifitas kehidupannya dengan alam sekitar, baik itu alam nyata maupun tidak nyata. Manusia dianggap sebagai mikro kosmos yang bersangkut paut dan saling pengaruh mempengaruhi dalam kesatuan yang harmonis dengan alam semesta sebagai makro kosmos. Manusia berusaha hidup selaras dengan dan mengaitkan realitas ataupun kejadian hidup sehari-hari ataupun perbuatannya dengan alam/ hukum alam. Contohnya di Bali, pohon-pohon yang diberi sarung adat dianggap mempunyai nilai magis dan bertuah sehingga hanya dapat ditebang oleh orang-orang tertentu yang diberikan kewenangan untuk itu. Contoh lain adalah dalam masyarakat Batak Toba, orang tidak berani sembarangan menebang pohon di hutan atau membuat batas tanah tanpa persetujuan Tetua Adat karena takut diterkam oleh harimau (baca : dihukum oleh alam). Tahapan ini disebut tahap Metafisis.

         Dalam tahap berikutnya yang disebut tahap positivistis, manusia dalam masyarakat itu memasuki tahap rasionalistis. Pada tahap ini, setiap kejadian selalu diselidiki dan dirasionalisasi dengan akal pikiran, yang dikedepankan adalah rasio atau akal untuk mencerna setiap problematika atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Hukumpun diharuskan rasionalistis dan bersifat fisik positivistik. Positif karena segalanya harus bisa dipastikan ada atau konkrit dan bersifat fisik sehingga harus tertulis. Dalam tahap positivistis atau disebut juga tahap modern inilah, keadilan serta ketertiban hukum diupayakan terwujud dengan aturan-aturan hukum tertulis termasuk aturan pembuktian demi kepastian hukum dan keadilan. Jika sesuatu itu telah sesuai hukum berarti sesuatu itu dianggap adil. Nilai hukum modern ini mengandung nilai universalistik dengan penekanan pada pemberlakuan prinsip persamaan setiap orang di hadapan hukum, berdasar asumsi bahwa setiap orang dilahirkan dengan kemampuan yang sama (Nurhasan Ismail, 2011).

          Akan tetapi, sebagai produk dari manusia yang sejatinya sempurna dalam keterbatasannya, hukum tidak dapat menjangkau niat batin ataupun hal-hal di luar kemampuan indrawi manusia yang relatif tidak sama tingkat kemampuannya satu dengan yang lain. Lalu, sering terjadi orang-orang yang mampu menggunakan akalnya untuk menyiasati aturan-aturan pembuktian kemudian menyiasati hukum bahkan menyelundupi (smugling of law) atau mengeksploitir hukum untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompoknya tanpa ada rasa takut akan Tuhan Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Sementara itu, di sisi lain, orang-orang yang lemah kemampuan ekonomi maupun akalnya akan menjadi korban dari “hukum dan keadilan yang pasti” itu.

          Rene Descartes (1637 dan 1641) dan para pengikutnya (yang menganggap bahwa eksistensi manusia itu ada karena manusia itu berfikir, bukan sebaliknya – non adversus – bahwa karena manusia ada maka dia bisa berfikir) memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala sesuatu. Mereka ragu terhadap apa yang mereka tangkap melalui indrawi. Karena ragu maka mereka berfikir sampai menemukan yang “ada”, ialah sesuatu yang sama sekali tidak mereka ragukan dan tidak bisa diragukan oleh apa atau siapapun lagi, sesuatu yang ada, “yang pasti”. Menurut mereka, “saya ragu” karenanya “saya berfikir”, “saya berfikir” maka mencapai sesuatu yang “ada”. “Saya berfikir” adalah benar karena “suatu realitas” dan akhirnya saya mencapai sesuatu yang “ada”, sesuatu “yang pasti”. Karena “saya berfikir” menjadi “ada”, maka kesimpulannya adalah “saya berfikir, maka saya ada” (cogito ergo sum).

          Mengikuti Rene Descartes, Friedrich Wilhelm Nietzshe (1882) sampai-sampai menafikan eksistensi Tuhan. Menurutnya “Tuhan sudah mati”, “Tuhan tetap mati” (Gott ist tot). Nietzsche memandang “kebenaran” dari filsafat perspektivisme. Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat masa itu dengan meninjau kembali semua nilai-nilai dan tradisi yang ada, yang sebagian terbesar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan Kekristenan yang mengacu pada paradigma kehidupan setelah kematian. Menurut Nietzshe nilai-nilai yang berlaku masa itu anti dan pesimistis terhadap kehidupan. Akan tetapi, walau menafikan eksistensi Tuhan dan paradigma kehidupan setelah kematian, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah falsafah nihilisme, tetapi justru sebaliknya, menjadi sebuah falsafah untuk menaklukan nihilisme dengan mencintai kehidupan manusia seutuhnya di bawah matahari. Manusia sempurna (Übermensch) itu dibawah matahari dengan kehendak untuk berkuasa. Menurut Nietzshe, tidak ada (lagi) manusia setelah kematian.

        Sebelumnya, Baruch de Spinoza (1677) mencoba menjawab permasalahan filsafat Rene Descartes dengan memberikan sebuah pengertian mengenai “Substansi” ialah sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain. Sifat “Substansi” (Dzat) itu adalah abadi, tidak terbatas, mutlak dan tunggal-utuh. Bagi Spinoza hanya ada satu yang dapat memenuhi definisi itu, ialah Allah. Hanya Allah yang memiliki sifat tidak terbatas, abadi, tunggal dan utuh. Selanjutnya menurut Spinoza, apabila Allah adalah satu-satunya “Substansi”, maka segala yang ada harus dikatakan berasal dari Allah, yang berarti segala gejala pluralitas dalam alam, baik yang bersifat jasmaniah (manusia, flora dan fauna bahkan bintang) maupun yang bersifat rohaniah (perasaan, pemikiran atau kehendak) bukanlah hal yang berdiri sendiri, melainkan tergantung sepenuhnya pada Allah.

          Dalam keyakinan masyarakat bangsa-bangsa Timur termasuk bangsa Indonesia, ada keyakinan yang telah berakar pada sejarah bangsa itu bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan segala isinya, termasuk manusia dalam susunan yang harmonis. Manusia sebagai “bono” (untuk siapa) alam itu diciptakan dan diserahkan diberi sifat pribadi-sosial, sehingga dia harus mengatur dirinya sendiri dalam keteraturan sosial di dalam bermasyarakat serta dalam mengelola dan memanfaatkan alam sekitarnya.

          Bangsa Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa Allah adalah Dzat yang mutlak atau “Substansi” sebagaimana dimaksud oleh Baruch de Spinoza. Sebab itulah, kemerdekaan Bangsa Indonesia pun diyakini sebagai “.. atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.”. Lalu, kemerdekaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (vide : Pembukaan UUD’45). Dengan demikian segala sesuatu realitas dan aktifitas kehidupan berbangsa serta interaksi sosial di masyarakat Indonesia haruslah mencerminkan keyakinan bahwa ada Allah yang menciptakan dan berkuasa atas langit, bumi dan segala isinya termasuk manusia, ialah “Allah Yang Maha Mengetahui apa-apa yang dilangit dan di bumi dan Maha Mengetahui apa-apa yang dirahasiakan dan apa-apa yang dinyatakan oleh manusia dan Maha Mengetahui segala isi hati” (QS. At-Taghaabun ayat 3 – 4) dan juga meyakini bahwa “Allah telah menciptakan ketentuan-ketentuan hukum yang baik dan bersifat abadi” (bandingkan : QS. Al-Fath ayat 23 dan Holy Bible, New International Version – Ezekiel 20 : 19, 21 – 26).

        Dengan memasukkan teologi hukum dalam perundang-undangan Indonesia sebagai dasar/ landasan filsafatnya guna membentuk manusia yang ber”kepribadian-sosial” dalam suatu keluarga sebagai inti terkecil di masyarakat dalam lingkup sosial yang harmonis – yang bukan pribadi mandiri dengan hak-hak asasi manusianya (yang bersifat individualistik) – kiranya dapat ditimbulkan keyakinan pada setiap warga/ bangsa Indonesia bahwa ada Allah Yang Maha Melihat apa yang dipikirkan dan yang dilakukan oleh seseorang dan bahwa seseorang itu hanya dapat berbahagia (sejahtera jasmaniah, rohaniah dan Tuhaniah) dalam keluarganya di tengah kemakmuran seluruh masyarakat sekitar dan bangsanya, bukan di tengah kemiskinan atau penderitaan sebagian masyarakat sekitar dan bangsanya. Melalui ketentuan-ketentuan dalam aturan perundang-undangan yang berdasarkan serta memasukkan teologi hukum di dalamnya sebagai pengarah, kontrol dan ukuran dari setiap perilaku dan perbuatan seseorang, kiranya cita-cita akan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur akan dapat tecapai jika cita-cita itu juga menjadi keyakinan dari setiap insan Indonesia. Suatu keyakinan akan sesuatu yang tidak atau belum berwujud pada gilirannya akan menjadikan sesuatu yang diyakini itu dalam kewujudan (est auten fides credere quod nondum vides, cuius fidei merces est videre quod credis) sebagaimana dikatakan oleh Augustinus Hipponensis, (354 – 430) – faith is to believe what you do not see, the reward of this faith is to see what you believe.

Bulaksumur – Yogyakarta, 22 September 2012

  • Baruch de Spinoza, The Ethics (1677);
  • Nurhasan Ismail, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UGM (2011);
  • Rene Descartes, Discours de La Methode (1637), Meditationes de Prima Philosophia (1641);
  • Friedrich Wilhelm Nietzshe, Die fröhliche Wissenschaft (1882), Abschnitt – Der tolle Mensch (The Gay Science, Section 125 – The Madman).